204

Update Delete

ID204
Original TitleAhmadiyah: Analisis terhadap Teologi dan Perkembangan
Sanitized Titleahmadiyahanalisisterhadapteologidanperkembangan
Clean TitleAhmadiyah: Analisis Terhadap Teologi Dan Perkembangan
Source ID2
Article Id01604525658
Article Id02oai:repositori.uin-alauddin.ac.id:26881
Corpus ID(not set)
Dup(not set)
Dup ID(not set)
Urlhttps://core.ac.uk/outputs/604525658
Publication Url(not set)
Download Urlhttps://core.ac.uk/download/604525658.pdf
Original AbstractAhmadiyah merupakan sebuah fenomena pembaharuan pemikiran Islam di India

dengan ciri-ciri teologis yang mencakupnya. Tulisan ini bertujuan untuk menggali

konsep teologis yang diajukan oleh Ahmadiyyah dan melacak perkembangannya.

Analisis ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan pendekatan perspektif

sosial. Berdasarkan kajian ini disimpulkan bahwa munculnya Ahmadiyah

merupakan hasil pemikiran tokoh-tokoh yang berusaha mengaktualisasikan

ajaran agama sesuai dengan pemahaman dan konteks sosial. Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa Ahmadiyah merupakan suatu aliran dalam Islam yang

muncul sebagai respons terhadap tantangan dan dinamika sosial keagamaan pada

masanya
Clean Abstract(not set)
Tags(not set)
Original Full TextJurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora Vol. 10 No. 1, Januari 2024, hal. 232-243 p-ISSN: 2442-384X e-ISSN: 2548-7396 232 | P a g e DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 https://journal.iaisambas.ac.id/index.php/ALWATZIKHOEBILLAH/index Ahmadiyah: Analisis terhadap Teologi dan Perkembangan Raden Muhammad Tarhan1, Abdullah 2 1Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, e-mail: raden.m.tarhan@gmail.com 2 Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, e-mail: abdullah.thalib@uin-alauddin.ac.id Histori Naskah ABSTRACT Diserahkan: 30-12-2023 Direvisi: 15-02-2024 Diterima: 18-02-2024 Ahmadiyya is a phenomenon of renewal of Islamic thought in India with theological characteristics that include it. This article aims to explore the theological concepts proposed by the Ahmadiyya and trace their development. This analysis was carried out through a literature study with a social perspective approach. Based on this study, it can be concluded that the emergence of Ahmadiyya was the result of the thoughts of figures who tried to actualize religious teachings through social understanding and context. This research also shows that Ahmadiyya is a sect in Islam that emerged as a response to the challenges and socio-religious dynamics of its time. Keywords : Ahmadiyya, the development of Ahmadiyya, theology ABSTRAK Ahmadiyah merupakan sebuah fenomena pembaharuan pemikiran Islam di India dengan ciri-ciri teologis yang mencakupnya. Tulisan ini bertujuan untuk menggali konsep teologis yang diajukan oleh Ahmadiyyah dan melacak perkembangannya. Analisis ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan pendekatan perspektif sosial. Berdasarkan kajian ini disimpulkan bahwa munculnya Ahmadiyah merupakan hasil pemikiran tokoh-tokoh yang berusaha mengaktualisasikan ajaran agama sesuai dengan pemahaman dan konteks sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Ahmadiyah merupakan suatu aliran dalam Islam yang muncul sebagai respons terhadap tantangan dan dinamika sosial keagamaan pada masanya. Kata Kunci : Ahmadiyah, perkembangan Ahmadiyah, teologi Corresponding Author : Raden Muhammad Tarhan, e-mail: raden.m.tarhan@gmail.com Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 233 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 PENDAHULUAN Agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang diterima oleh suatu komunitas atau masyarakat yang bersifat dogmatik. Agama tercermin dalam perilaku ketika mengartikan dan merespons apa yang dianggap dan diyakini sebagai sesuatu yang suci dan benar (Surawan & Mazrur, 2020). Dengan definisi tersebut, terlihat bahwa pergeseran persepsi dan keyakinan agama merupakan satu keniscayaan. Perubahan ini dapat dipicu oleh perubahan situasi atau perbedaan penafsiran dan perspektif yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, walaupun naskah suci agama tersebut tetap tidak berubah (Masud, 2009). Tampak bahwa perspektif dalam menafsirkan ajaran agama bersifat dinamis, yang dalam Islam pun diakui akan adanya hal itu. Mengulas persoalan aliran dalam tubuh agama Islam seolah-olah sama dengan merangkai kembali fragmen sejarah kebudayaan Islam yang telah terurai. Sejarah telah mencatat bahwa munculnya aliran dalam dunia Islam terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad, di mana kekosongan otoritas agama menjadi pemicu utama (Santoso, 1996). Nabi Muhammad, yang sebelumnya menjadi pemegang otoritas dalam menangani isu-isu sosial-agama menjadi sandaran utama dalam menyelesaikan setiap perselisihan atau permasalahan yang muncul dalam masyarakat Islam pada masa itu. Namun, setelah Nabi wafat, mulai terlihat adanya perpecahan. Para sahabat mulai berselisih dan mempertanyakan siapa yang layak menggantikan peran Nabi dalam mengatasi dan merespons masalah sosial dan keagamaan. Setelah tiga puluh tahun sejak wafatnya Nabi, perpecahan dan ketegangan sosial mencapai puncaknya. Namun, pada periode setelahnya, motif perpecahan tidak saja muncul akibat kekosongan otoritas agama, melainkan faktor sosial-politik yang mendominasi perpecahan di antara kelompok-kelompok Islam (Saeed, 2014). Konflik antara kelompok yang mendukung Ali dan yang berselisih dengan Muawiyah menjadi titik awal lahirnya aliran Syiah dalam dunia Islam. Aliran ini meyakini bahwa Ali merupakan sosok yang berhak menjadi khalifah setelah kematian sahabat Utsman (Widiyanto, 2018). Pertempuran antara kedua kelompok tersebut menciptakan sekte baru di dalam Islam yang dikenal sebagai khawarij. Kemunculan fraksi-fraksi ini menjadi pemicu munculnya sekte-sekte baru dalam dunia Islam. Permasalahan politik yang disahkan dengan dalil agama menjadi akar dari perpecahan sosial-keagamaan yang akhirnya menyebabkan munculnya aliran-aliran tersebut. Dalam perspektif Turner, menjadi sulit untuk mengatasi perpecahan ketika motif politik bersatu dengan ajaran agama (Turner, 2012). Berbagai corak pemikiran teologi Islam bermunculan dengan metode dan teori yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi. Kemunculan aliran-aliran ini dapat dipandang sebagai respons dari para penganutnya terhadap ajaran agama, dan menjadi dasar bagi solusi terhadap gejala sosial keagamaan. Dalam hal ini, tingkat keilmuan seseorang dapat memengaruhi hasil pembacaan. Pemilihan teori dan metode membantu membentuk interpretasi, sebagaimana terlihat dalam kemunculan aliran-aliran seperti Syiah, Sunni, Qadiriyah, dan Ahmadiyah. Interaksi antara pembacaan dan ajaran agama membentuk perilaku, dan menjadi legitimasi argumen saat menghadapi masalah sosial keagamaan. Oleh karena itu, kemunculan Ahmadiyah sebagai hasil pemikiran teologi Islam merupakan suatu keniscayaan. Tidaklah mustahil bahwa pada masa depan akan muncul aliran-aliran baru dengan karakteristik ajaran yang berbeda. Hal ini diperkuat oleh pemahaman bahwa perubahan sosial terus berlangsung dalam era global yang terus berkembang. Seperti aliran-aliran lain dalam khazanah pemikiran teologis Islam yang muncul sebagai respons terhadap problematika sosial-agama, Ahmadiyah juga lahir dari konteks pergulatan sosial, politik, dan agama. Munculnya Ahmadiyah di India, yang diprakarsai oleh Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 234 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 Mirza Ghulam Ahmad (selanjutnya disebut Ghulam Ahmad), tidak dapat dipisahkan dari peran pentingnya sebagai inovator pemikiran Islam di India. Dalam konteks sosial, umat Islam di India pada masa itu menghadapi berbagai tantangan sosial keagamaan seperti kemiskinan, keterbelakangan, kepercayaan terhadap takhayul, dan pencampuran antara ajaran agama dengan perilaku budaya. Realitas ini semakin kompleks, terutama melibatkan gerakan misionaris Kristen dan Hindu Arya Samaj yang secara intensif melakukan upaya untuk merekrut umat Islam. Ghulam Ahmad merespon faktor-faktor ini dengan mengambil inspirasi untuk melakukan pembaharuan dalam khazanah pemikiran teologis Islam yang bersifat aplikatif dan sesuai dengan kondisi temporal pada saat itu (Thohir & Kusdiana, 2006). Pada saat yang bersamaan, para ulama terlibat dalam perdebatan konseptual dengan beberapa kelompok lain, akan tetapi tidak mampu memberikan solusi konkret bagi permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam. Ghulam Ahmad menemukan momen untuk merajut pembaharuan dalam khazanah pemikiran teologis Islam di India dengan corak dan karakter keagamaan yang berbeda. Meskipun Syah Waliyullah dan muridnya yang Bernama Ahmad Khan, juga mengajukan pembaruan pemikiran Islam, Ghulam Ahmad dianggap sosok yang memberikan kontribusi yang signifikan dengan menawarkan konsep pemahaman keagamaan yang mampu memberikan solusi terhadap problem sosial-agama yang dihadapi oleh masyarakat India pada kala itu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengulas pemikiran Ahmadiyah dengan menggunakan analisis sosial, karena lahirnya Ahmadiyah merupakan bagian dari gejala sosial di tengah-tengah masyarakat Muslim India. Ahmadiyah sebagai sebuah aliran dalam Islam telah mengundang berbagai kajian dan penelitian. Penelitian terdahulu sejauh ini telah mengkaji persoalan sejarah dan teologi gerakan Islam Ahmadiyah (Fitriani & Arifinsyah, 2021; Muhtador, 2018, 2021). Penelitian lainnya telah mengkaji persoalan pengaruh dan penyebaran gerakan Ahmadiyah dalam kehidupan masyarakat di negara-negara timur dan barat (Galib et al., 2022; Iryanto, 2023; Sari, 2012). Penelitian lainnya juga banyak diarahkan pada aspek minoritisasi dan kontroversi terhadap gerakan Ahmadiyyah (M. Ahmad et al., 2022; Mudzakkir, 2017; Rahim, 2014). Penelitian ini berbeda dengan beberapa kajian terdahulu yang disebutkan, namun sedikit dekat dengan apa yang sudah dikaji oleh Dimansa (2022) yang mengkaji ajaran dan perkembangan Ahmadiyah (Dimansa, 2022). Perbedaannya ialah Dimansa lebih cenderung fokus pada kehidupan Ghulam Ahmad secara personal dan ajarannya dikaji dengan kacamata syariah, sedangkan penelitian mengungkapkan Ahmadiyyah dalam sudut pandang jamaah atau gerakan dengan analisis teologinya menggunakan perspektif sosial. Dengan latar belakang yang telah dijelaskan, tulisan ini akan membahas "Bagaimana paham teologi Ahmadiyyah dan perkembangannya?" Tulisan ini akan menggali lebih dalam mengenai konsep teologis yang diajukan oleh Ahmadiyyah, serta melacak perkembangannya sejak awal kemunculannya. Analisis akan mencakup aspek-aspek kunci dari ajaran Ahmadiyyah, termasuk pandangan tentang keagamaan, pemikiran teologis khususnya dalam konteks India, dan dampak sosial serta historis dari perkembangan Ahmadiyyah. Tulisan ini juga dapat menjelaskan bagaimana pemikiran teologis Ahmadiyyah merespon dan mencoba menjawab permasalahan sosial-agama yang dihadapi oleh masyarakat India pada saat itu. Dalam kerangka ini, analisis sosial dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana Ahmadiyyah menjadi fenomena sosial dan bagian dari khazanah pemikiran teologi Islam. Dengan membahas pertanyaan tersebut, tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang paham teologi Ahmadiyyah dan menguraikan perjalanan perkembangannya sejak muncul hingga masa kemapanan gerakannya. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 235 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan atau library research. Di dalam penelitian ini, peneliti mengandalkan sumber-sumber tertulis sebagai sumber data penelitian (Abubakar, 2021; Zed, 2008). Pendekatan yang peneliti gunakan untuk mengulas kajian ini adalah perspektif sosial, suatu perspektif di mana peneliti meyakini bahwa dinamika yang terjadi dalam individu tau komunitas dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi masyarakat (Bachtiar, 1997; DOISE & STAERKLÉ, 2001). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari buku, jurnal, dan artikel yang fokus membahas pergerakan dan teologi Ahmadiyah. Data yang sudah terkumpul dilakukan analisis dengan gaya Miles dan Huberman yang terdiri dari reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Awal Berdirinya Ahmadiyah dan Perkembangannya Lahirnya aliran Ahmadiyah tak lepas dari peran sentral Mirza Ghulam Ahmad. Ghulam Ahmad lahir di Qadian, India, pada Jumat, 13 Februari 1835, sebagai anak dari Mirza Ghulam Murtadza dan Charagh Bibi. Dengan keturunan dari Dinasti Mughal, Ghulam Ahmad awalnya diajarkan Alquran dan beberapa buku agama berbahasa Persia oleh seorang guru bernama Fazal Ilahi. Selanjutnya, dia belajar ilmu bahasa dari Fazal Ahmad (Muhtador, 2021). Ketika memasuki usia dewasa, Ghulam Ahmad menunjukkan minat yang tinggi terhadap ilmu agama. Dia mendalami Alquran dan kitab-kitab suci lainnya, termasuk Injil dan Weda. Waktunya banyak dihabiskan di perpustakaan ayahnya untuk mendalami ilmu agama Islam (Sofianto, 2014). Dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama yang kuat, Ghulam Ahmad menjadi tokoh sentral dalam lahirnya aliran Ahmadiyah. Munculnya aliran Ahmadiyah di India merupakan bagian dari peristiwa sejarah Islam di negeri tersebut. Catatan sejarah menunjukkan bahwa India, sebagai anak benua Asia, telah diperintah oleh berbagai dinasti Islam, dan meskipun Islam mencapai kejayaannya pada masa Dinasti Mughal, hal tersebut tidak mampu mengatasi ketidakpahaman di kalangan umat Islam. Kejatuhan umat Islam di India disebabkan oleh konflik internal dan peperangan dalam merebut kekuasaan. Kompleksitas ini diperburuk oleh perdebatan sengit dan perselisihan seputar masalah khilafah di antara berbagai aliran Islam, madzhab, dan golongan. Perselisihan tersebut melibatkan konflik antar aliran dan kelompok dalam Islam, yang pada akhirnya membentuk lanskap sosial dan keagamaan yang rumit di India. Dalam konteks ini, munculnya Ahmadiyah dapat dipandang sebagai respons terhadap ketidakstabilan dan perselisihan yang melanda umat Islam pada waktu itu. Paham-paham baru seperti Ahmadiyah mungkin muncul sebagai upaya untuk memberikan solusi atau interpretasi yang berbeda terhadap ajaran Islam dalam menghadapi tantangan sosial dan politik yang dihadapi umat Islam di India. Peristiwa tersebut mengingatkan kembali pada sejarah panjang pertumbuhan aliran pada masa Islam awal, seperti Syi’ah, Khawarij, Sunni, Mu’tazilah dan lainnya. Perselisihan dan perbedaan antar kelompok keagamaan yang terjadi adalah bagian dari sejarah Islam dan pada akhirnya melahirkan aliran baru. Lahirnya aliran baru dalam Islam adalah respon atas masalah sosial agama yang terjadi di tengah umat Islam, sebagai solusi supaya tidak terjebak dalam lingkaran konflik dalam internal umat Islam, dibutuhkan inovasi dalam menafsiran ajaran Islam. Beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya aliran dalam Islam ialah adanya perebutan kekuasaan, perbedaan interpretasi dan perbedaan interpretasi dan fanatisme (Hanafi, 2003). Beberapa hal di atas menyebabkan kemunduran umat Islam, seperti yang terjadi di India pada masa terakhir kerajaan Mughal. Di mana umat Islam cenderung statis, eksklusif, rigit dan berperilaku konservatif, sehingga tidak peduli atas realitas sosial. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 236 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 Fenomena ini ternyata dimanfaatkan dengan cermat oleh Inggris yang saat itu mengkoloni India. Sikap eksklusif yang menjadi karakteristik umat Islam membuat mereka terisolasi, karena adanya sikap antipati terhadap keragaman budaya yang ada di India. Hal ini memperkuat keyakinan Inggris bahwa umat Islam merupakan pihak yang dapat dicurigai terlibat dalam pemberontakan. Situasi ini mencapai puncaknya setelah terjadinya pemberontakan Mutiny, di mana umat Islam menemui kondisi yang sangat sulit, termasuk kemiskinan, ta'ashshub (fanatisme buta), kepercayaan terhadap tahayyul, dan campur aduk antara ajaran agama dan budaya (Sofianto, 2014). Realitas sosial ini menciptakan perselisihan antar umat Islam sendiri dan menjadi sumber konflik internal dalam konteks agama. Sejarah mencatat bahwa banyak konflik di dalam umat Islam dipicu oleh kepentingan politik yang diselubungi oleh retorika agama. Oleh karena itu, saat Inggris berusaha untuk melemahkan posisi umat Islam dalam lingkup sosial, isu agama dihembuskan sebagai alat untuk merusak dan melemahkan persatuan umat Islam. Di wilayah lain, munculnya Ahmadiyah di India juga terkait dengan sejumlah masalah sosial, seperti kemiskinan, kelaparan, dan sikap konservatif yang melibatkan umat Islam. Kemiskinan yang merajalela di antara umat Islam menciptakan peluang bagi nonmuslim, termasuk misionaris dan pendakwah, untuk memengaruhi umat Islam agar beralih keyakinan. Ghulam Ahmad, melihat kondisi ini, mengajukan seruan untuk menghidupkan kembali ajaran agama (M. G. Ahmad, 2014). Seruan ini dapat dipahami sebagai respons terhadap situasi sosial yang sulit, dengan Ghulam Ahmad berupaya memberikan alternatif atau solusi dalam menghadapi tantangan sosial yang melibatkan umat Islam di India pada masa itu. Dengan demikian, munculnya Ahmadiyah dapat dilihat sebagai hasil dari ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan keagamaan, dengan tujuan untuk membawa perubahan dan penyegaran dalam tatanan ajaran agama Islam. Rentetan peristiwa yang telah diuraikan menjadi faktor utama kelahiran aliran Ahmadiyah di India. Menurut Gibb, Ahmadiyah dianggap sebagai satu-satunya sekte Islam yang muncul di India sebagai hasil gerakan pembaharuan dengan karakter yang liberal dan cinta damai. Tujuannya adalah menarik perhatian individu yang telah kehilangan kepercayaan terhadap model pemahaman Islam yang tradisional (M. G. Ahmad, 2014). Kehadiran Ghulam Ahmad, dengan pemahaman agama yang progresif, dianggap sebagai jawaban terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat Islam di India, termasuk dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial. Ajaran Ahmadiyah, yang mengedepankan toleransi, cinta damai, dan kasih sayang, tidak hanya memengaruhi dan menarik perhatian umat Islam, tetapi juga kelompok non-Muslim, seperti Kristen dan Hindu. Hal ini disebabkan oleh keyakinan jemaat Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah reinkarnasi dari tokoh-tokoh agama seperti Nabi Muhammad, Isa, dan Krishna (Zulkarnaen, 2014). Oleh karena itu, ajaran Ahmadiyah lebih mudah diterima oleh beberapa kelompok keagamaan di India. B. Pemikiran Teologi Ahmadiyah Bagian ini akan mengulas pandangan Ahmadiyah mengenai keyakinan yang diterjemahkan dari prinsip-prinsip Islam. Meskipun beberapa elemen dianggap krusial karena merupakan inti dari pemikiran teologis Ahmadiyah, pembahasan dalam konteks ini berfokus pada dimensi sosial untuk memahami kemunculan pemikiran tersebut secara organik. Walaupun dasar-dasar teologi tetap menjadi landasan pemahaman, pemilihan elemen tersebut didasarkan pada dasar-dasar teologi Islam secara umum, sehingga memastikan kohesi dalam memahami Ahmadiyah. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 237 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 1. Wahyu Konsep munculnya pemikiran Ahmadiyah berkaitan dengan wahyu, seperti yang diungkapkan dalam pernyataan yang diterjemahkan dari Ghulam Ahmad. Beliau menyatakan bahwa tidak seharusnya diasumsikan bahwa wahyu ilahi tidak akan lagi hadir di masa yang akan datang, dan bahwa wahyu tersebut tidak hanya berlaku pada periode masa lalu ketika syariat Alquran berakhir. Ghulam Ahmad berpendapat bahwa meskipun syariat berakhir dengan Alquran, wahyu tidak mengalami akhir. Ini karena menurutnya, agama yang hidup ditandai oleh konsep wahyu yang terus berlanjut (M. G. Ahmad, 2014). Dari segi epistemologi, Ahmadiyah meyakini konsep wahyu yang bersumber dari Alquran, khususnya melalui beberapa ayat yang dianggap sebagai ajaran utama. Misalnya, surat Al Nahl: 68 diinterpretasikan sebagai wahyu yang mengarah kepada naluri hewan, Az Zalzalah:5 sebagai wahyu (hukum alam pada bumi,) Fushshilat: 12 (sebagai wahyu kepada langit) Al Anfal: 12 (sebagai wahyu kepada malaikat), dan Al Maidah: 111(sebagai wahyu kepada laki-laki dan Perempuan) .Secara sosial, perjalanan spiritual Ghulam Ahmad dimulai setelah mengalami musibah dan kehilangan orang tuanya. Pada tahun 1876, ketika berusia sekitar 40 tahun, Ghulam Ahmad mengklaim mendapatkan wahyu dalam mimpi, di mana seorang malaikat menasihatinya untuk menjalankan ibadah puasa sesuai dengan sunnah para rasul sebagai cara untuk menerima rahmat Tuhan. Ghulam Ahmad kemudian melaksanakan puasa tersebut selama delapan bulan. Pendirian Ahmadiyah juga terkait dengan konteks sosio-agama dan politik. Ghulam Ahmad terlibat dalam interaksi dengan berbagai agama, yang mengakibatkan konflik dengan misionaris dan pada saat yang sama, ketertarikannya pada gerakan Hindu Arya Samaj. Ini mendorong Ghulam Ahmad untuk menyebarkan ideologinya dengan menulis artikel keagamaan yang menentang keyakinan dan pemimpin non-Muslim. Ghulam Ahmad menerima wahyu pertamanya pada tahun 1881, seperti yang disebutkan dalam sumber Sofianto (2014). Namun, pada masa tersebut, Ghulam Ahmad belum mengumumkan secara publik karena kondisi sosial yang belum mendukung, terutama dengan adanya perpecahan dalam umat Islam dan kepercayaan yang kuat. Pada Desember 1888, Ghulam Ahmad dengan tegas menyatakan dan mengumumkan bahwa ia telah menerima wahyu Ilahi yang memerintahkan untuk menerima baiat dari para pengikutnya. Wahyu tersebut juga menegaskan dua tugas yang harus dilaksanakan oleh Ghulam Ahmad. Pertama, menerima baiat dari para pengikutnya, dan kedua, membangun sebuah bahtera, yaitu suatu wadah untuk mengumpulkan kekuatan guna mewujudkan misi dan tujuan kesuciannya, yang melibatkan penyebaran ajaran Islam ke seluruh dunia (Zulkarnaen, 2014). Pada tanggal 23 Maret 1889, pelaksanaan pembaiatan pertama dalam gerakan Ahmadiyah dilakukan di rumah seorang murid setia bernama Mia Ahmad Jan di Kota Ludhiana. Menariknya, pelaksanaan ini tidak dilakukan di Qadian dengan alasan politis. Ludhiana, sebagai kota yang menjadi pusat aktivitas misionaris Kristen dan lokasi penerbitan jurnal Kristen Noor Afshan, dipilih karena pertimbangan strategis. Selain itu, kota ini juga merupakan tempat berdirinya sekolah misionaris Kristen tertua di India dan tempat para tokoh umat Islam berada. Maulana Nuruddin Sahib adalah orang pertama yang dibaiat dalam acara tersebut. Ia juga merupakan individu yang pertama kali menyatakan bahwa Ghulam Ahmad adalah pendiri pemikiran Ahmadiyah. Setelah Maulana Nuruddin, sekitar 40 tokoh terkemuka lainnya, termasuk Mir Abbas Ali, Abdullah Sinnauri, Chaudhry Rustam Ali, dan lain-lain, mengikuti untuk menerima baiat. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 238 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 2. Al-Mahdi dan Al-Masih Hal yang menarik selain isu wahyu dalam ajaran Ahmadiyah adalah pandangan mengenai al-Masih al-Mahdi dari Ghulam Ahmad, yang sering disebut sebagai Masih Mau'ud. Dalam hal ini, Ahmadiyah menganut pemikiran rasionalis-liberal dalam memahami Imam Mahdi dan Nabi Isa. Meskipun epistemologinya bersumber dari Alquran dan hadis, interpretasi yang dihasilkan oleh Ahmadiyah berbeda dengan mayoritas umat Islam. Menurut pandangan Ahmadiyah, Nabi Isa (Jesus) putra Maryam telah wafat secara alamiah seperti manusia biasa. Pandangan ini berbeda dengan mayoritas umat Islam yang meyakini bahwa Nabi Isa masih hidup dan akan kembali pada akhir zaman. Ahmadiyah merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Huraira, di mana Rasulullah saw. bersabda: "Bagaimana sikap kalian ketika Ibnu Maryam datang bersamamu, sementara imam kalian berasal dari kalangan kalian sendiri." (Bukhari, n.d.). Pandangan Ahmadiyah memahami bahwa kata "imam" dalam hadis tersebut mengacu pada kedatangan seorang penolong dari umat Islam sendiri, bukan dari golongan lain seperti Bani Israil (Zulkarnaen, 2014). Pemahaman tersebut diperkuat oleh Basyaruddin Mahmud Ahmad, yang menjabat sebagai Khalifah ke-2 dalam organisasi Ahmadiyah. Menurutnya, Ghulam Ahmad adalah sosok yang memiliki perilaku kenabian yang dijanjikan untuk menjadi imam (H. M. B.-U.-D. M. Ahmad, 1980). Pernyataan ini menegaskan pandangan Ahmadiyah mengenai Ghulam Ahmad sebagai figur yang memenuhi kriteria kenabian dan memiliki peran sebagai imam yang dijanjikan. Dengan demikian, Basyaruddin Mahmud Ahmad menguatkan keyakinan dalam doktrin Ahmadiyah terkait peran Ghulam Ahmad sebagai Masih Mau'ud dan Imam Mahdi yang dijanjikan. Dalam pemahaman Ahmadiyah, kematian Nabi Isa (Isa a.s.) tidak hanya dianggap sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai suatu realitas yang sebenarnya. Ghulam Ahmad menyatakan bahwa Isa a.s. telah meninggal seperti manusia pada umumnya dan dikuburkan di Srinagar, Kashmir. Argumentasi yang digunakan untuk mendukung pandangan ini merujuk pada beberapa ayat Alquran, antara lain Q.S Al-Maidah:117, Q.S Al-Imran:54 dan 143, serta Q.S Ash-Shaff:6 (Sofianto, 2014). Pendekatan Ahmadiyah terhadap ayat-ayat yang menggambarkan hidupnya Nabi Isa yang terdapat dalam Q.S Al-Nisa’ didasarkan pada analisis bahasa dan argumentasi yang berasal dari Kitab Injil (Bible), sejalan dengan tafsir Ahmadiyah. Pendekatan ini membedakan pandangan Ahmadiyah dari mayoritas umat Islam yang meyakini bahwa Nabi Isa masih hidup dan akan kembali pada akhir zaman. Pemahaman Ahmadiyah terhadap ayat tersebut melibatkan interpretasi khusus yang menekankan aspek penyerupaan untuk membingungkan orang Yahudi terkait kematian Nabi Isa (Isa a.s.). Mereka menafsirkan lafad "salabu" (salib) sebagai suatu metode pembunuhan dengan cara memaku di tiang salib, namun menegaskan bahwa Nabi Isa tidak meninggal di atas salib. Ahmadiyah berpendapat bahwa lafad "subbiha" (diserupakan) dalam ayat tersebut mengindikasikan bahwa Nabi Isa hanya tampak seperti mati di atas salib bagi orang Yahudi, sementara sebenarnya tidak mati. Dalam keyakinan Ahmadiyah, interpretasi ayat ini menunjukkan kematian Nabi Isa, yang diungkapkan dalam konteks pemahaman terhadap Bible, khususnya Ulangan 21:23. Pendekatan ini menunjukkan perbedaan interpretatif Ahmadiyah terhadap kisah kematian Nabi Isa dibandingkan dengan mayoritas umat Islam yang meyakini bahwa Nabi Isa tidak mati dan akan kembali pada akhir zaman. Dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yang dijanjikan kedatangannya bukanlah secara harfiah pribadi Nabi Isa (Isa a.s.) yang diutus kepada Bani Israil. Sebaliknya, al-Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 239 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 Masih diartikan sebagai salah satu individu dari umat Nabi Muhammad yang memperlihatkan sifat dan perangai yang mirip dengan Nabi Isa. Dalam konteks ini, tokoh ini juga dikenal sebagai al-Mahdi. Oleh karena itu, dalam teologi Ahmadiyah, al-Masih dan al-Mahdi dianggap sebagai satu pribadi yang sama (Zulkarnaen, 2014). Ahmadiyah meyakini bahwa kedatangan Imam Mahdi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan al-Masih di akhir zaman, dan keduanya telah dijanjikan oleh Tuhan (Sofianto, 2014). Dalam konteks ini, Ghulam Ahmad dianggap sebagai figur yang mewakili kedua peran ini. Kehadiran Ghulam Ahmad sebagai al-Masih dan al-Mahdi, yang mengaku menerima wahyu dan berperan sebagai penyelamat, harus dipahami dalam konteks sosial dan keagamaan masyarakat India pada masanya. Dalam analisis tersebut, masyarakat India dianggap menghadapi tantangan sosial-keagamaan, seperti kemiskinan, kerakusan, dan perilaku negatif. Status al-Masih yang disematkan pada Ghulam Ahmad diinterpretasikan sebagai upaya untuk menghilangkan sifat primitif dalam masyarakat. Selain itu, gambaran Nabi Isa yang muncul untuk membunuh babi dipahami sebagai simbol untuk menghilangkan tabiat kotor dan serakah manusia, karena babi dianggap sebagai hewan kotor dan serakah dalam tradisi agama Islam (Sofianto, 2014). Secara sosial dan agama, Ahmadiyah dapat dilihat sebagai bagian dari gerakan dengan paham Mahdiistik, di mana Mahdi dianggap sebagai "Hakim peng-islah" atau pemimpin yang membawa perdamaian. Dalam konteks ini, Mahdi dipercayai sebagai figur yang memiliki visi menyatukan kembali semua agama, terutama Nasrani (Kristen) dan Hindu, agar dapat bersatu dalam Islam (Zulkarnaen, 2014). Tujuannya adalah untuk mencapai rekonsiliasi antara berbagai keyakinan dan menggabungkannya ke dalam ajaran Islam. Penting untuk dicatat bahwa pengakuan Ghulam Ahmad sebagai nabi tidak terbatas hanya untuk umat Islam dan Kristen, tetapi juga untuk semua keyakinan yang ada pada masanya, termasuk Zoroaster dan Krishna bagi umat Hindu. Ghulam Ahmad bahkan mengakui Shri Krishna sebagai avatar (nabi) terbesar dari semua avatar dalam agama Hindu (Sofianto, 2014). Pendekatan inklusif ini mencerminkan upaya Ahmadiyah untuk membangun dialog antaragama dan menyatukan elemen-elemen yang berbeda dalam bingkai Islam. Oleh karena itu, menghadapi kemunculan Ahmadiyah dianggap sebagai suatu keharusan untuk memahami konstruksi pemikiran dan pendekatan inklusif yang mereka terapkan terhadap berbagai keyakinan dan agama. 3. Kenabian Masalah kenabian di dalam Ahmadiyah merupakan isu yang kompleks dan memunculkan perbedaan pandangan, terutama jika dilihat dari perspektif kelompok Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Meskipun keduanya memiliki persamaan dalam pemahaman bahwa Nabi Muhammad adalah nabi tasyri'i atau nabi terakhir, namun perbedaan muncul dalam interpretasi mengenai status kenabian Mirza Ghulam Ahmad (Zulkarnaean, 2014).Secara umum, baik Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qadian memiliki kesamaan pandangan mengenai kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabi tasyri'i atau nabi mustaqil yang terakhir. Namun, perbedaan muncul dalam penafsiran status kenabian Ghulam Ahmad. Kelompok Ahmadiyah Lahore, sebagai contoh, memandang Ghulam Ahmad sebagai seorang pembaharu (muhaddats). Pandangan ini muncul dari pernyataan Ghulam Ahmad yang menyatakan dirinya sebagai pembaru. Dalam pandangan Ahmadiyah Lahore, gelar nabi yang disematkan pada Ghulam Ahmad dianggap sebagai majazi atau simbolis, dan lebih merujuk pada status pembaruan yang diusungnya (Zulkarnaen, 2014). Perbedaan interpretasi ini mencerminkan kerumitan dalam memahami status kenabian Ghulam Ahmad di dalam komunitas Ahmadiyah, dan menciptakan Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 240 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 dinamika internal yang membutuhkan pemahaman mendalam terhadap konteks sejarah dan pemikiran di balik perbedaan ini. Gerakan Ahmadiyah, sebagaimana diungkapkan oleh Gibb, bisa diidentifikasi sebagai gerakan intelektual modern. Ghulam Ahmad, pendirinya, mendeklarasikan dirinya sebagai penerima wahyu dalam ajaran agama. Wahyu dianggap sebagai pesan fundamental yang membawa pesan-pesan Tuhan. Interpretasi Ghulam Ahmad mengenai pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam konteks stagnasi berpikir umat Muslim di India, memberikan dampak positif pada perkembangan pemikiran. Menurut Kunto, Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai nabi pada tahun 1901, yang terjadi sekitar 11 tahun setelah ia mengaku sebagai al-Masih al-Maud. Walaupun pengakuannya tidak menyiratkan bahwa ia adalah nabi yang membawa syariat baru, hal tersebut memicu kontroversi dan perdebatan panjang di India. Pada akhirnya, Nazir Hussain mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ghulam Ahmad sebagai orang kafir (Sofianto, 2014). Keputusan fatwa ini mencerminkan konflik dan ketegangan dalam masyarakat India terkait dengan pemahaman Ghulam Ahmad tentang kenabian. Dalam konteks ini, Ahmadiyah dihadapkan pada tantangan dan perlawanan dari sebagian umat Muslim, yang menyebabkan kontroversi yang mendalam dalam dinamika agama di India. Dalam pandangan Ahmadiyah, pemilihan Ghulam Ahmad sebagai nabi bayangan dijelaskan sebagai suatu pilihan Tuhan karena keutamaan dan kesalehannya. Namun, upayanya untuk menghidupkan ajaran agama sebagai bentuk perlawanan terhadap misionaris dan umat Hindu tidak selalu mendapatkan dukungan dari kalangan Muslim. Hal ini disebabkan karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dari ajaran mayoritas umat Islam.Ghulam Ahmad melalui ajarannya memberikan kritik terhadap umat Islam, menekankan bahwa agama seharusnya mengajarkan kebebasan, perjuangan, dan nilai-nilai positif. Namun, dalam realitas sosial, umat Islam di India dianggap terpengaruh oleh ajaran teologi yang menyebabkan kemunduran, kejumudan, dan persaingan politik. Posisi ini melemahkan umat Islam secara teologis dan sosiologis. Oleh karena itu, Ahmadiyah mendorong pertanyaan filosofis dalam pemahaman terhadap ajaran agama. Konsep pertanyaan filosofis terkait kebenaran doktrin agama, seperti yang diungkapkan oleh Goode dan dikutip oleh Bryan, disarankan untuk digantikan dengan pertanyaan sosial. Pendekatan ini menyoroti dampak praktik keagamaan yang kaku dan jumud terhadap masyarakat. Sebagai contoh, kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan sosial membantu mengeksplorasi implikasi praktik keagamaan terhadap dinamika sosial dan menggali pemahaman yang lebih luas tentang peran agama dalam masyarakat (Turner, 2012). Usaha Ghulam Ahmad untuk mempertanyakan umat Islam secara sosiologis dengan gagasan rasionalnya dapat dipandang sebagai upaya dalam menerapkan nilai-nilai agama yang mengadvokasi kebebasan, khususnya dalam konteks konsep kenabian. Meskipun konsep kenabian Ghulam Ahmad menghadapi permasalahan secara doktrinal, namun dapat dipandang sebagai suatu pernyataan sosial-politis.Dari segi sosial, sebagai tokoh keagamaan di India, Ghulam Ahmad diharuskan memiliki legitimasi legal-formal dalam menyebarkan ajaran agama, seperti halnya para nabi terdahulu. Tanpa dukungan legal-formal, seruan dan fatwa Ghulam Ahmad mungkin tidak akan mendapatkan respons dari pengikutnya, terutama dalam konteks debat dan ketidakpuasan umat Islam terhadap teologi Islam yang dominan pada waktu itu. Lebih lanjut, setelah meninggalnya Ghulam Ahmad, diperlukan legitimasi ajaran dari pendiri atau pendahulu sebagai bentuk legislasi untuk praktik keagamaan, sehingga terbentuklah suatu doktrin kenabian untuk memperkuat argumen keagamaan. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 241 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 Meskipun pada awal kemunculan Ahmadiyah disebutkan bahwa Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai seorang nabi, namun pandangan penulis adalah bahwa status kenabian Ghulam Ahmad mungkin berasal dari kelompok atau jemaatnya yang sangat mencintainya, sehingga secara simbolis diungkapkan sebagai sosok yang tinggi dan dihormati. Seperti yang disebutkan oleh Iskandar, Ghulam Ahmad tidak pernah membantah ungkapan ketinggian statusnya di mata jemaatnya (M. G. Ahmad, 2014). Dalam konteks yang berbeda, kedekatan Ghulam Ahmad dengan pemerintah kolonial Inggris memberikan keuntungan bagi posisi Ahmadiyah dalam mendapatkan pengakuan dan dukungan. Adanya persekutuan antara Ahmadiyah dan Inggris dalam menyebarkan ajaran Ghulam Ahmad memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan Ahmadiyah di India. Oleh karena itu, status kenabian Ghulam Ahmad tidak dapat dipisahkan dari konteks berdirinya Ahmadiyah dan hubungannya dengan kolonial Inggris. PENUTUP Dari penjelasan di atas, beberapa pemikiran pokok tentang Islam dan Ahmadiyah dapat disimpulkan bahwa munculnya Aliran Agama dan Islam sering kali muncul sebagai hasil pemikiran tokoh-tokoh yang berusaha mengaktualisasikan ajaran agama sesuai dengan pemahaman dan konteks waktu mereka. Pemikiran dari masing-masing aliran agama, termasuk Ahmadiyah, dapat dianggap sebagai suatu sikap yang dipilih untuk menjawab tantangan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat pada waktu tertentu. Pemikiran ini mencerminkan upaya tokoh atau kelompok dalam menghadapi dinamika sosial dan keagamaan yang mereka hadapi. Munculnya Ahmadiyah sebagai suatu pemikiran teologi Islam tidak dapat dipisahkan dari konteks India pada masa Ghulam Ahmad. Faktor-faktor sosial dan keagamaan pada waktu itu memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran dan konsep dasar dari Ahmadiyah. Oleh karena itu, untuk memahami Ahmadiyah secara menyeluruh, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap konteks sosial dan keagamaan pada masa Ghulam Ahmad. Dengan menyatukan elemen-elemen ini, kita dapat mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang pemikiran Ahmadiyah sebagai suatu aliran dalam Islam yang muncul sebagai respons terhadap tantangan dan dinamika keagamaan pada masanya. Penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Penelitian ini belum mengkaji secara mendalam hubungan antara Ahmadiyah dengan pemerintah kolonial yang diduga menjadi salah satu faktor dapat berdiri dan berkembangnya Ahmadiyah menjadi sekte Islam. Untuk itu, bagi peneliti mendatang, penelitian mengenai hubungan Ahmadiyah dan Inggris dalam menjadi kajian yang menarik untuk dilakukan untuk melihat lebih jauh pengaruh kekuasaan dan politik terhadap perkembangan sekte agama. Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 242 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 DAFTAR PUSTAKA Abubakar, R. (2021). PENGANTAR METODOLOGI PENELITIAN (1st ed.). SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga. Ahmad, H. M. B.-U.-D. M. (1980). Invitation to Ahmadiyah. Pearson. Ahmad, M., Bunyamin, B., Nawawi, M. A., Pratama, C. A., & Junior, R. (2022). The Struggle for Recognition: A Study of the Existence of the Indonesian Ahmadiyya Community in the Concept of Axel Honneth’s Recognition. MUHARRIK: Jurnal Dakwah Dan Sosial, 5(2), 307–320. https://doi.org/10.37680/muharrik.v5i2.1648 Ahmad, M. G. (2014). Tadkirah: Dari Wahyu, Mimpi, dan Kasyaf yang Diterima (Ekky, Trans.). Neratja Press. Bachtiar, W. (1997). Metode Penelitian Ilmu Dakwah. Logos. https://books.google.co.id/books/about/Metodologi_penelitian_ilmu_dakwah.html?id=CrFvAAAACAAJ&redir_esc=y Bukhari. (n.d.). Al Jami’ al Shahih li Al Bukhari (Vol. 3). Alam Kutub. Dimansa, A. H. (2022). Ahmadiyya in Islam: Teachings and developments. Texas Journal of Multidisciplinary Studies, 6, 45–56. DOISE, W., & STAERKLÉ, C. (2001). From Social to Political Psychology: The Societal Approach. In Political Psychology (pp. 151–172). Psychology Press. Fitriani, F., & Arifinsyah, A. (2021). Theological Teachings of The Qadiani Ahmadiyya and The Jehovah’s Witnesses: A Comparative Study. KALAM, 15(1), Article 1. https://doi.org/10.24042/klm.v15i1.6583 Galib, A. S. H., Hasaruddin, H., & Rasyid, H. H. A. (2022). Ahmadiyah dan Pengaruhnya di Dunia Barat Modern. Al-Mirah: Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), Article 2. Hanafi, A. (2003). Pengantar Teologi Islam. Pustaka Al Husna Baru. Iryanto, M. (2023). Ahmadiyah Dan Pengaruhnya Di Dunia Barat. Al-Tadabbur, 8(2), 181–191. https://doi.org/10.46339/altadabbur.v8i2.946 Masud, A. (2009). Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan. Dialog, 32(2), Article 2. https://doi.org/10.47655/dialog.v32i2.138 Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis (R. Holland, Ed.; 2nd ed.). SAGE Publications, Inc. Mudzakkir, A. (2017). MINORITISASI AHMADIYAH DI INDONESIA. Masyarakat Indonesia, 37(2), Article 2. https://doi.org/10.14203/jmi.v37i2.650 Muhtador, M. (2018). AHMADIYAH DALAM LINGKAR TEOLOGI ISLAM (Analisis Sosial atas Sejarah Munculnya Ahmadiyah). Aqlam: Journal of Islam and Plurality, 3(1), Article 1. https://doi.org/10.30984/ajip.v3i1.630 Muhtador, M. (2021). Doktrin Kenabian Ahmadiyah Perspektif Teologis dan Analisis Sejarah Kemunculan. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 4(2), Article 2. https://doi.org/10.30829/juspi.v4i2.8508 Rahim, I. R. (2014). Kontroversi Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW), 1(1), Article 1. https://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/7058 Saeed, A. (2014). Pemikiran Islam: Sebuah pengantar (S. Syamsuddin & M. N. P. S, Eds.; 1st ed.). Baitul Hikmah Press dan Kaukaba. Santoso, J. (1996). Latar Belakang Munculnya Aliran Aliran Dalam islam Pada Zaman Khulafaur Rasyidin. [Thesis, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember]. https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/94338 Sari, G. P. (2012). PERKEMBANGAN ORGANISASI AHMADIYAH DI INDONESIA PADA TAHUN 1928-1968 [Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial]. https://eprints.uny.ac.id/16564/ Raden Muhammad Tarhan, Abdullah Vol. 10. No. 1. Januari, 2024 243 | P a g e Jurnal Alwatzikhoebillah: Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, Humaniora DOI: https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v10i1.2611 Sofianto, K. (2014). TINJAUAN KRITIS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (1st ed.). Neratja Press. Surawan, S., & Mazrur, M. (2020). Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan Perkembangan Agama Manusia. K-Media. http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/2620/ Thohir, A., & Kusdiana, A. (2006). Islam di Asia Selatan: Melacak perkembangan sosial, politik umat islam di India, Pakistan dan Bangladesh. Humaniora. Turner, B. S. (2012). Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer (E. A. Iyubena & A. H. Ardiana, Eds.; I. R. Muzir, Trans.). Ircisod. Widiyanto, A. (2018). Sunni-Shia Ecumenism in Austria: A Model for Western Europe? Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 56(1), Article 1. https://doi.org/10.14421/ajis.2018.561.225-254 Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia. Zulkarnaen, I. (2014). Jemaat Ahmadiyah Indonesia Perspektif Akidah dan Syari’ah. FGD Dan Studi Ekskursi ISAIs UIN Sunan Kalijaga.
Clean Full Text(not set)
Language(not set)
Doi(not set)
Arxiv(not set)
Mag(not set)
Acl(not set)
Pmid(not set)
Pmcid(not set)
Pub Date2024-02-19 00:00:00
Pub Year2024
Journal Name(not set)
Journal Volume(not set)
Journal Page(not set)
Publication Types(not set)
Tldr(not set)
Tldr Version(not set)
Generated Tldr(not set)
Search Term UsedJehovah's AND yearPublished>=2024
Reference Count(not set)
Citation Count(not set)
Influential Citation Count(not set)
Last Update2024-11-21 00:00:00
Status0
Aws Job(not set)
Last Checked(not set)
Modified2025-01-13 22:06:16
Created2025-01-13 22:06:16